Breaking News

Sosial

Technology

Life & Style

Kesehatan

Friday, July 15, 2016

AADC 2 : GAGAL MOVE ON!!




Akhirnya kesampaian juga nonton AADC 2 walaupun harus nunggu ada yang aplod dulu wkwkwk, niatnya mau langsung ngetik review ala saya tapi tadi tiba tiba jam 20.00 ada tamu datang lha ternyata tamunya mas @Nanang Suaksono waahh keren nih bakal dapat cerita asiik lagi nih kaya nya, naahh kan bener dari setiap dia datang ke rumah ada aja bahan cerita yang asik buat di obrolin dari mulai nostalgia di jogja, hidroponik sampai tips trik cara sukses jualan di sosia media ya karena dia juga saah satu pelaku bisnis fashion yang cara memasarkannya melalui internet atau sosial media, wahh ga kerasa kayanya ada 2 jam dia disini, setelah kopi habis dia pun pamit, wokkeey its time to nge blog lagii.., tapi sebenarnya review ini selayaknya dibaca setelah kalian nonton dulu AADC 2 nya ya, tapii kalo belum yaa ga papa juga sih, wookkey langsung aja ya daripada kelamaan silahkan di simak ya..

Review AADC 2 ala saya :
Ada Apa Dengan Cinta (2001) adalah tonggak kebangkitan film nasional pasca orde baru. AADC adalah salah satu produk budaya paling beken di Indonesia. Minat anak muda pada sastra, sejumlah kutipan yang berumur panjang, mamet jaket diikat ke pinggul, hingga melonjaknya karir layar perak dari hampir seluruh artis yang ambil peran di dalamnya.

Satu setengah dekade setelahnya, gaung AADC juga yang menuntun orang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton AADC 2. Tapi, ternyata bagi mereka yang keluar dengan raut muka terpuaskan, itu juga masih karena AADC.

Dibanding sekuel drama lain, karya arahan Riri Riza ini seperti benar-benar hanya mengawetkan kembali apa yang sudah dibangun di AADC oleh Rudi Soedjarwo selaku sutradara. Bukan menciptakan bangunan lain dengan warna yang selaras. Laksana seorang anak yang belum berani lepas dari orang tuanya.

AADC 2 adalah film yang secara umum menghibur, itu pasti. Namun, disadari atau tidak, kita gagal move on. Memori kita akan AADC yang sejatinya menghibur diri kita. Banyak adegan-adegan atau dialog seadanya yang menjadi bernilai karena berjuta ingatan akan AADC pertama masih tertanam. Sebagai film yang berdiri sendiri, AADC 2 tidak sukses berdikari. Terlalu bertumpu pada nostalgia. Sama seperti konflik tokoh Rangga dan Cinta yang gagal move on di film ini.

Plot drama tiga babak yang pas-pasan. Semua sudah bisa diterka sejak 20 menit pertama.
Saya sedikit geli kalau mendapati penonton bisa berseru tegang ketika adegan Rangga secara kebetulan melintas di depan kafe tempat Cinta dan gengnya tengah ngobrol. Seolah-olah ada kemungkinan Rangga dan Cinta tidak akan bertemu sama sekali lalu film ini hanya jadi perjalanan My Trip My Adventure edisi sosialita Yogyakarta.

Padahal, semua sudah bisa diterka. Sebelumnya, kita sudah punya beberapa kode yang terlalu jelas. Cinta akan ke Jogja. Tentu bukan bermaksud meliput demonstrasi. Cinta bukan lagi wartawan mading. Sekarang ia beralih menjadi pegiat seni yang tertarik dengan karya perupa Jogja.

Lantas, begitu adegan Rangga membaca alamat rumah Ibunya yang tinggal di Jogja, pikiran kita harusnya secepat kalkulator langsung bisa meramalkan apa yang akan terjadi: Cinta ke Jogja. Rangga juga akan ke Jogja. Mereka bertemu, berciuman, dan pasti akan ada penonton yang berkomentar Suaminya Dian Sastro nggak marah apa ya?

Alhasil, 20 menit bangunan awal cerita untuk mempertemukan keduanya jauh lebih lemah dibanding ketika Cinta menemui Rangga karena ia kalah lomba puisi, dan berusaha meliput sang pemenang. Cuma butuh 10 menit, tapi sampai sekarang kita masih terkenang bahwa kalah lomba mungkin adalah sinyal kemenangan dalam jodoh.

Dialog kurang cerdas. Beruntung, publik sudah mengantisipasi dari awal.
Patut diakui bahwa adegan paling mantap di AADC 2 adalah penghakiman Rangga oleh Cinta di kafe. Omel-omelan Cinta kepada Rangga otomatis berfungsi menjelaskan latar belakang kisah cinta keduanya yang hilang belasan tahun kepada penonton. Cara yang apik dan efektif. Pengambilan gambar close-up ke wajah keduanya secara bergantian juga jadi ajang pamer paras Nicholas Saputra dan Dian Sastro yang bikin mata seger. Dahaga kaum Adam dan Hawa pun terpenuhi.

Kendati akhirnya banyak yang kemudian diolah jadi meme, tapi jika diingat lagi sebenarnya kalimat yang terlontar dari suara parau Cinta–seperti Julie Estelle di film Kuntilanak–jauh dari kata cerdas: “Yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat!” & “Kamu kebanyakan minta maaf”

Bandingkan dengan naskah di AADC 1: “Basi! madingnya udah siap terbit!” atau “Barusan saya ngelempar pulpen ke orang gara-gara ada yang berisik di ruangan ini. Saya gak mau itu pulpen balik ke muka saya gara-gara saya berisik sama kamu.” Kita terlanjur pasang kuda-kuda bahwa apa aja yang dikatakan Cinta dan Rangga itu quotable.

Pemilihan lokasi tepat, namun kurang sejalan dengan jalan kisahnya sendiri.
Saya yakin Cinta akan langsung mencampakan Rangga dan memilih pulang sendiri naik delman istimewa andai Rangga mengajaknya pergi foto-foto ke tugu Jogja atau nonton Ramayana di Prambanan. Tidak ada yang salah dengan dua obyek wisata itu. Akan tetapi, ini sudah tahun 2016. Cinta dan penonton berhak tahu tempat-tempat keren Jogja yang lain.

Untuk itu, saya sangat lega dan mengapresiasi pilihan lokasi yang dipilih di AADC? 2. Ini berkaitan juga dengan misi mereka memotret laju kembang budaya dan berkesenian kota Jogja saat ini. Tidak lagi terlalu tradisional, melainkan mulai bersinggungan dengan unsur-unsur seni modern dan kontemporer. Maka, mereka lebih memilih untuk meninggalkan campursari Gunung Kidul demi menampilkan perpaduan hip hop Jawa dengan musik elektronik dari Kill The DJ (“Ora Minggir Tabrak”). Lagi-lagi ini langkah tepat. Sayangnya, sebagian besar lokasi tak menanamkan pengaruh langsung dalam cerita selaiknya pasar buku Kwitang di AADC 1. Hampir seluruh lokasi cuma berperan sekedar jadi latar tempat modus si Rangga pedekate.

Ini Rangga atau Siapa?
Rangga yang tempo dulu begitu dewasa, cuek, introver, jual mahal, dan kritis ala Soe Hok Gie kini menjadi pengemis cinta ala “Jatuh bangun aku mengejarmu”. Selepas nonton pertunjukan boneka Pappermoon, ada satu adegan yang sempat bikin Cinta marah. Hem, di situ kita justru jadi ingat inilah seharusnya Rangga yang legendaris itu. Yang ngomong sekenanya, sinis, tapi layak jadi panutan. Sayangnya, selain momen itu, ia hampir seperti Raffi Ahmad di film Love Is Cinta yang menye-menye.

Alya gagal ditiadakan, melainkan dipindah ke raga yang lain.
Keputusan Ladya Cheryl untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri mendatangkan masalah nah ia meninggalkan lubang besar di AADC 2. Dalam cerita AADC 2, tokoh Alya yang ia perankan di AADC 1 memang sudah mendapat alasan yang masuk akal dan bisa diterima untuk tidak lagi muncul. Sayangnya, pada akhirnya kita tetap melihat karakter Alya di tubuh Karmen. Ini membuktikan AADC 2 ternyata tetap tidak sanggup membangun cerita tanpa keberadaan karakter “seorang sahabat yang dewasa dan bijak bagi Cinta” seperti Alya. Sehingga, Karmen jadi tumbal. Ia harus merangkap menjadi Karmen sekaligus Alya.

Ending yang terlalu rapi.
Saya kira film ini akan jauh lebih menancap di hati andai diakhiri sekitar 20 menit lebih dini. Tepatnya di adegan Cinta pulang dari Jogja. Lantaran hampir tak ada lagi elemen berkesan sesudahnya. Buat yang ada niatan nonton lagi, silahkan catat pula betapa menjenuhkannya dialog Cinta dan Rangga di adegan pamungkas film ini. Plotnya terlalu polos untuk menggiring emosi penonton dari momen konflik menuju ending, Akan tetapi untungnya, Mamet nongol sebagai penyelamat. Ending yang garing dibikin pecah oleh penampakan Mamet di detik-detik akhir, adegan tambahan pasca credit. Gelak tawa mengudara menghapus rasa kecewa.

Apa pun ceritanya, Dian Sastro tetap ICON nya AADC 2 sukses meresmikan lagi kesepakatan kaum Adam se-Tanah Air bahwa posisi Dian Sastro adalah PERFECT WOMAN. Riri Riza sengaja sekali tidak membiarkan ada satu pun adegan untuk Dian Sastro terlihat manusiawi dan pas-pasan..

Kalau untuk pesan positif nya di AADC 2 ini saya sampai ending ngga bisa nemu apa karena gagal fokus gara gara pesonanya Dian Sastro yang WEW itu ya ?? wkwkw ya ya ya btw untuk sekedar hiburan AADC 2 it’s OK tapi kalau untuk dijadikan sekuel dari AADC 1 kalau menurut saya ngga ngena cerita nya..

Nah ini ada kutipan Puisi-Puisi Ada Apa Dengan Cinta 1 & 2 yang masih saya ingat :

Sebelumnya, mari kita kembali ke belasan waktu silam, saat puisi-puisi dan soundtrack film AADC banyak dilafalkan oleh para remaja tahun 2001 an..

“Bosan aku dengan penat. Dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika ku sendiri. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh!”

Kutipan puisi di AADC 2
”Resah di dadaku... Dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini,
dipisah kata-kata, Begitu pula rindu, Lihat tanda-tanda itu. Jurang antara kebodohan dan keinginanku, memilikimu sekali lagi...”

Thursday, July 14, 2016

Pesan Positif Dari Film "NGENEST"


NGENEST

Seharian ini benar benar job ga ada alias sepi..!! tapi ga papa karena di jam 10.11 WIB tadi tiba tiba HP ku bunyi seperti ada pesan yang masuk teruus langsung deh saya ambil HP tersebut kemudian baca pesan tersebut ternyata isi nya WOIILLAA pemberitahuan dari BUKALAPAK kalo duit pembayaran barang dari pembeli sudah masuk rekeningku AHAMDULILLAH, lumayan buat beli beras & bensin..


Ketimbang bengong ga ada job servis PC & LAPTOP langsung aja saya ambil sapu buat bersih bersih rumah ahamdulillah 15 menit kelar deh & cliiing rumah pun bersih (Menurut Saya lho), nah karena bersih rumah udah, sholat duhur udah, makan udah, truus langsung aja deh lanjutin ngerjain PR selanjutnya yaitu nonton FILM lagiii tentunya di laptop jadul tercinta..

Kemarin kan udah nonton Fiosofi Kopi nah hari ini ada 3 judul film lagi yang belum di tonton : Ngenest, Youtubers, & Comics 8 Casino Kings Part 2, pilihan pertama jatuh ke film Ngenest yang menurut feeling saya nih rada renyah nih fim buat di tonton siang2 yang cuaca nya lagi hot banget..

Berikut ini Review nya ala saya :

“Kadang hidup perlu ditertawakan”, tagline dari film “Ngenest” ini sedikit banyak mewakili keseluruhan 90 menit cerita yang mengangkat tentang perjalanan hidup Ernest Prakasa, yang juga diangkat dari trilogi bukunya. Ernest yang mengawali karier entertainment sebagai seorang komika, merangkap “jabatan” dalam film ini (yang bisa dibilang merupakan proyek pribadinya) sebagai penulis skenario, sutradara, dan tentu saja sebagai pemeran utama (kan filmnya tentang dia). Begitu kear nonton fim ini satu kata yang dapat saya kemukakan mengenai film ini, “cerdas”. 

Menilik sekilas mengenai jalan cerita film ini, tentu kebanyakan orang akan berpikir, “film tentang diri sendiri, narsis amat”, “buset jalan ceritanya nyeritain hidup dia dari lahir  sampe sekarang”, terlepas dari isu utama yang Ernest angkat mengenai “nasib” dirinya sebagai kaum minoritas(Cina). Faktanya, tidak banyak orang “beruntung” dapat berkisah dan memfilmkan kehidupan pribadinya untuk disaksikan oleh ribuan orang, dan Ernest tahu betul akan “keberuntungan” itu dan memanfaatkannya dengan apik.

Film komedi "Ngenest" 2015 bercerita tentang seorang  Ernest, dia merupakan seorang keturunan Cina yang merasakan beratnya hidup dan dia juga sering dibully oleh teman-teman sekolahnya sejak dia masih SD. Menjadi korban bully membuatnya bertekad bahwa keturunannya kelak tidak boleh mengalami nasib yang sama. Untuk itu, dia berikrar untuk menikahi perempuan pribumi, dengan harapan agar anaknya kelak tidak mengalami kemalangan yang ia alami.

Sebenarnya penampilan fisiknya cukup bagus dan mencerminkan orang Cina kebanyakan berulit putih, mata sipit. akan tetapi terlahir dengan mata sipit dan kulit putih menjadi kerugian baginya. Sejak hari pertama menginjakkan kaki di SD, dia langsung terkena bully atau ejekan oleh teman temannya . Hal ini berlanjut terus hingga SMP. Di SMP, dia mencoba cara yang berbeda, yakni berusaha berkawan dengan para pembully, dengan harapan bila ia berhasil berbaur, maka ia tidak akan jadi korban bully. Sayangnya, cara ini pun gagal.

Hingga pada suatu ketika Ernest berpikir bahwa ini adalah nasib yang harus ia terima. Tapi ia sadar bahwa ini tidak harus dialami oleh keturunannya kelak. Ia harus memutus mata rantai, dengan cara menikahi seorang perempuan pribumi, dengan harapan kelak ia akan memiliki seorang anak pribumi. Rencana ini ditentang oleh sahabatnya sejak SD, Patrick, yang merasa cita-cita Ernest ini  sangat aneh. walaupun bisa terkabul juga cita-citanya.

Seirin waktu berjalan, dan dia sudah masuk kuliah sampai semester 3, barulah dia berkenalan dengan gadis cantik bernama Meira, seorang gadis Sunda/Jawa yang seiman dengannya. Perkenalan mereka berlangsung cukup mulus, tapi masalah timbul saat Ernest bertemu dengan ayah Meira yang sama sekali tidak menyukai anaknya berpacaran dengan seorang Cina, karena ia pernah nyaris bangkrut akibat ditipu oleh rekan bisnisnya yang juga Cina. Tapi akhirnya Ernest berhasil mencuri hati calon mertuanya, dan setelah berpacaran selama lima tahun, mereka menikah.

Setelah menikah, ternyata Ernest memiliki sedikit kekuatiran. yaitu apabila kelak anak mereka terlahir persis sang ayah. Bagaimana bila ia tetap gagal mencegah anaknya dari ejekan teman temannya. Segala ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda keinginan memiliki anak. Di sisi lain, Meira yang sudah didesak orangtuanya juga, ingin segera memiliki anak. Setelah melalui berbagai pertengkaran, akhirnya Ernest mengalah karena takut kehilangan Meira. Dua tahun setelah menikah, Meira hamil.

Semakin membesar perut Meira, semakin besar rasa takut yang menghantui Ernest. Puncaknya ketika Meira sudah mendekati tenggat melahirkan, tekanan semakin tinggi, Ernest pun stress sehingga melakukan kesalahan besar di kantor yang membuatnya dimaki oleh boss. Tidak kuat menghadapi tekanan bertubi-tubi, Ernest melarikan diri ke tempat di mana ia dan Patrick biasa bersembunyi selagi mereka kecil.

Akhirnya Patrick menemukan Ernest di sana, dan menyadarkan Ernest untuk segera ke rumah sakit. Dengan terbirit-birit, Ernest berangkat ke RS dan menemani Meira melahirkan. Meira pun melahirkan seorang bayi perempuan bermata sipit. Meski anaknya tampak sangat Cina seperti ayahnya, tapi Ernest sangat bahagia. Kehadiran anaknya telah memberinya begitu banyak kehangatan yang membawa keberanian untuk menghadapi hidup, walaupun hidup ini banyak tantangannya.

Akting dari seluruh pemerannya pun saya acungi jempol. Ernest sendiri yang memerankan dirinya tentu tidak menemui kesulitan berarti, namun ada beberapa scene yang menunjukan bahwa Ernest masih harus banyak belajar dalam dunia akting. Lala Karmela yang memerankan Meira, istri dari Ernest justru membuat saya terkesima sepanjang film, bukan(hanya)karena kecantikannya, namun chemistry yang ia jalin dengan Ernest sebagai sepasang suami-istri dapet banget, selain itu pembawaan karakter yang dilakukan Lala sangatah menyatu dengan setiap adegan yang ia mainkan.

Patrick, sahabat Ernest yang diperankan oleh Morgan Oey membuat saya mengamini ribuan kali keputusannya keluar dari SM*SH, karena kualitas akting dari Morgan disini semakin menunjukan kestabilan dan mengarah pada peningkatan dari 2 film terdahulunya, “Assalamualaikum Beijing” dan "Air Mata Surga". "Filosofi tokai” yang ia ungkapkan dalam beberapa scene film dengan penuh penghayatan membuat saya tidak mampu menahan tawa. ​ 

Pemeran pembantu lain pun memberikan kemampuan terbaiknya, seperti Ferry Salim dan Olga Lydia yang memerankan Ayah dan Ibu dari Ernest, lalu Kevin Anggara dan Brandon Salim yang memerankan Ernest dan Patrick ketika masih remaja, bahkan Ge Pamungkas yang memerankan teman kantor Ernest, yang meskipun hanya ada dalam beberapa scene, mampu menancapkan kesan “annoying”. Jangan lupakan juga Budi Dalton dan Ade Fitria, yang berperan sebagai Ayah dan Ibu Meira yang dalam setiap scenenya membuat saya terpingkal karena jokes sunda-nya.

Bagi saya pribadi, meskipun masih terdapat sedikit plot hole (seperti ketika pertama kali Ernest masuk SD dan bertemu Patrick, ia mendadak mengucapkan "terima kasih", padahal ia baru saja bertatap muka dengan Patrick. kan misalkan nih kita baru pertama bertemu seseorang langsung mengatakan "terima kasih"?), dan cerita yang seolah dipercepat ketika momen PDKT Ernest dan Meira, satu moment paing asik di fim ini adalah ketika ernest & meira lagi di mobil trus tiba2 si meira se akan2 memancing ernest untuk segera nembak dia biar cepet jadian yang ga usah pake acara basa basi segala “kalo kamu senang/ suka dengan lawan jenis udah lah ungkapin aja soal ntar awet atau ngga nya suatu hubungan ya balik ke diri kita masing masing”, secara overall Ernest sukses dalam film perdananya. 

Sisi dramatis dan melankolis mampu dipadukan dengan maksimal dengan balutan komedi. Film ini mampu membuat penontonnya tertawa dengan ikhlas dengan jokesnya, dan satu hal yang dapat saya tarik  sebagai kesimpulan dari film ini, “kehidupan selalu memberi sisi “gelap” yang terkadang sulit untuk dilepaskan, tetapi untuk menyelesaikannya, menghindar bukanlah cara yang tepat. Sometimes you just have to laugh at it, so you could see the “problem” from a different perspective, dan cara Ernest menertawakan “kemirisannya” dan meracuni para penonton untuk melakukan hal yang sama, saya anggap sukses.

Wednesday, July 13, 2016

Pesan Positif Dari Muvi 'Filosofi Kopi"

Kopi
Kaya nya udah ada 4 hari saya sendiri di rumah, ya karena nda Kharis Rosyidah dengan anak anak masih liburan di Tempat Mbah nya (Banjarnegara), anyway seharian kemarin (Rabu 13/07/2016) saya pun di rumah sampai jam 19.00 WIB teruus karena ada job servis PC nya mas Nizar langsung deh cuuss go to Perum Megabiru eeehhh iya karena saya udah kepalang janji juga kalo Rabu malam ini mau ngasih sedikit job ke Sobur akhirnya dia sekalian juga deh saya bawa ke perum megabiru hehehe biar ga bolak balik lumayan lah ngirit bensin.
 
Sekitar jam 22.15 akhirnya kelar juga nyervis PC nya mas Nizar naahh langsung dehh cuus ke Sruweng sowan ke padepokan Kyai @Tenggar buat menimba ilmu kanuragan dumay wkwkwkwk, singkat cerita sampai di TKP langsung si sobur dapat wejangan dari Kyai Tenggar dalam hal ilmu kanuragan tsb yaaa alhamdulillah langsung mudeng & siap tempur buat senin mlm besok.

Nah setelah semua wejangan tersampaikan saya pun langsung nyalain PC di TKP (Padepokan Kyai Tenggar) buat cek email & download muvi (mumpung dapett koneksi wuzz wuzz ya langsung hajarr saja), secara ngga sengaja ini tangan ngetik di kolom search mbah google “Filosofi Kopi”mmm ya mungkin karena ada secangkir kopi yang di racik sama sobur yang pas di lidah ku jadinya langsung dehh si tangan ikut ngerespon buat ngetik “Filosofi Kopi” tersebut.

Hhaaa yang nongol malah link donlod muvi “Filosofi Kopi” waaahhh kebetulan banget nih karena saya sebenarnya kepingiiin banget nonton ini muvi dari pertama di rilis kalo ga salah rilisnya itu sekitar April 2015, tapi karena di kebumen ga ada bioskop twenty one atau yang kaya gitu ya akhirnya nunggu ada yang aplod, padahal bbrp bulan lalu di salah satu stasiun TV Swasta nasional muvi ini sudah pernah di tayangkan tapi lagi lagi waktu itu saya ga sempat nonton..

Ngga terasa waktu sudah menunjukkan jam 02.10 WIB Dini hari, waahh ini udah pagi ya.. langsung dehh saya & sobur pamit pulang dari padepokan kyai Tenggar tersebut, sampai rumah udah jam 02.30 WIB yaahh satu setengah jam lagi subuh nanggung amat yaa kalo tidur mending ntar aja sekalian setelah sholat subuh, naahh sambil nunggu adzan subuh berkumandang dari masjid dekat rumah & karena sudah saking ngebetnya pingin nonton muvi “Fiosofi Kopi” langsung deehh nyalain laptop jadul colokin FD terrruus kik file muvi tersebut..

Rada serius yaa kalimat kalimat di bawah ini, monggo disimak review ala saya :

Muvi “Filosofi Kopi” yang diangkat dari kumpulan cerpen Dewi Lestari ini berkisah tentang Ben dan Jody, dua teman baik sejak kecil yang membuka sebuah kedai kopi di bilangan Melawai bernama Filosofi Kopi. Ben yang sejak kecil sudah mengenal dan akrab dengan kopi (karena sang ayah adalah petani kopi) menjadi barista di kedai kopi ini. Yang membuat beda kedai kopi ini adalah tentang filosofi yang dibuat Ben untuk setiap jenis kopinya.

Sedangkan Jody adalah partner yang lebih menekankan pada laporan dan keuangan kedai kopi. Permasalahan mengenai hutang yang melilit mereka (yang dapat membawa kedai kopi ini jatuh) membuat Ben menerima tantangan seorang pengusaha untuk menemukan kopi yang sempurna untuk disuguhkan ke calon partner kerjanya yang benar-benar keliling dunia hanya untuk secangkir kopi terbaik. Bahkan Ben meningkatkan tantangan 100juta menjadi 1M karena dia yakin akan memenangkannya dan mampu menyelesaikan semua masalah kedai kopi itu sekaligus.

Tak lama kemudian Ben sibuk membuat racikan kopi terbaik dengan biji kopi pilihannya (yang “terpaksa” direlakan Jody dengan merogoh kocek lebih dalam) dan dia berhasil menemukan Ben’s Perfecto. Hadirlah El, seorang penikmat kopi sejak kecil, food blogger dengan spesialisasi coffee tasting dan dia sedang dalam proses membuat buku mengenai kopi (melanjutkan penelitian ayahnya soal kopi). Kehadiran El yang membuat Jody terpesona ternyata membawa Ben ketar-ketir. Karena menurutnya Ben’s Perfecto bukanlah kopi terbaik.

Perjalanan mencari kopi terbaik pun di mulai oleh Jody, Ben dan El. Apakah mereka berhasil menemukannya?

Nahh Muvi ini ternyata disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko yang berhasil membuat Film Cahaya Dari Timur dengan apik. Dia pun bertindak sebagai produser bersama dengan Anggia Kharisma, dan Handoko Hendroyono. Adi S. Jerikho Nagara bertindak sebagai Associate Producer dan juga Glenn Fredly dan Chicco Jerikho sendiri juga sebagai Co-Producer.

Chicco Jerikho sendiri bermain sebagai Ben – si penggila kopi dan bahkan bisa kita bilang obsesi terhadap kopi dan kesempurnaan. Sedangkan Rio Dewanto bermain sebagai orang keturunan yang memiliki modal (walau karena hutang) dan merupakan orang keuangan yang penuh perhitungan.

Film ini memang berpusat pada ketiga karakter di atas, namun banyak nama-nama yang cukup terkenal dalam perfilman Indonesia yang terlibat dalam film ini. Di antaranya Slamet Rahardjo yang bermain sebagai pemilik kedai kopi Tiwus yang dibilang lebih enak oleh El daripada Ben’s Perfecto. Kemudian ada Jajang C. Noer yang bermain sebagai sang istri pemilik kedai kopi Tiwus tsb.

Filosofi Kopi sendiri menarik perhatian saya karena kisahnya adalah kisah perjalanan hidup tentang cinta dan obsesi akan kopi dan ternyata film ini berhasil membuatnya dengan apik, Akting para pemeran dalam film ini sudah sangat tidak diragukan. Persiapan yang dilakukan oleh masing-masing pemeran film ini sangat keren. Mereka benar-benar belajar meracik secangkir kopi dan menikmati filosofi di balik secangkir kopi itu. Adakah yang saya sayangkan secara peran dalam film ini? Tidak ada. Sepanjang film saya menikmati semuanya yang berjalan dengan mulus. Ben sang barista ditonjolkan dengan baik oleh Chicco, si orang keuangan Jody juga diperankan dengan apik oleh Rio, si Food Blogger yang hanya berpendapat taste kopi versi dia juga diperankan dengan baik oleh Julie.

Kisah, ah secara kisah film ini tidaklah jauh dari cerpen yang dituliskan oleh Dee dan menangkap semua dengan pas. Karena itulah saya mengangkat topi untuk Jenny Jusuf sang penulis naskah yang berhasil menuangkan cerpen ini ke dalam naskah film dengan baik.

Setting tempat kedai kopi Filosofi Kopi ini sangat saya suka, Kemudian kebun kopi Tiwus, Dan hasilnya setelah nonton tadi, membuat saya ingin sekali ke kebun kopi…. Tapi kapaan ??

Kopi, Kenangan, Cinta dan Obsesi

Kopi… ya sudah pastilah film ini tentang kopi, judulnya saja adalah Filosofi Kopi. Film ini berhasil mengangkat kopi dan kedai kopi yang sekarang tampaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari bagian kota-kota di Indonesia, Nongkrong di kedai kopi seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak muda dan eksekutif yang gaol gitu. Dalam salah satu scene film ini ada yang membuat saya terbahak, yaitu di mana segerombolan anak muda membatalkan pesanan karena kedai Filosofi Kopi tidak memiliki wifi. Sebuah fasilitas “must have” bagi sebuah kedai kopi sekarang ini. Ya inilah kenyataannya kan?

Tapi pengenalan kopi dalam film ini membuat saya acungkan jempol. Kenapa? Kita ini salah satu negara penghasil kopi terbaik loh – di dunia…. masa kita sendiri tidak bisa menikmati kopi negeri sendiri. Kopi yang di kedai logo warna hijau & ada sosok cewe nya juga menggunakan kopi dari negeri kita kok. Sudah seharusnya kopi menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sebagaimana film Indonesia juga menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kenangan….  Pejamkan mata, hirup aromanya perlahan. Lalu resap perlahan. Biarkan dia mengalir. Ah… kenangan demi kenangan akan melintas. Dan film ini sebenarnya membawa kita kembali ke kenangan masa kecil Ben yang harus dilaluinya bersama sang ayah. Bagaimana sang ayah dipaksa melepaskan kecintaannya pada kopi dan kemudian beralih. Kenangan atas masa kecil Jody dan El bersama sang ayah kembali.

Cinta…. muvi ini tentang cinta. Cinta terhadap ayah. Cinta terhadap keluarga. Cinta pada hal-hal yang memang membawa kita hidup sebagaimana seharusnya. Bagaimana kopi Tiwus menjadi kopi terbaik karena memang rasa cinta itu sendirii sejak dirawat hingga disajikan. Bagaimana secangkir kopi nikmat itu tergantung pada kecintaan baristanya terhadap kopi itu sendiri. Bagaimana mencintai keluarga, sang ayah melalui caranya masing-masing. Bagaimana memaafkan mereka yang mencintai kita dan kita cintai dan yang paling penting film ini adalah tentang bagaimana mencintai diri sendiri dan berdamai dengan diri sendiri.

Obsesi... Kecintaan Ben terhadap kopi mungkin membawanya ke arah terobsesi habis dengan kopi terbaik. Dia ingin dikenal sebagai orang yang berhasil menciptakan kopi terbaik hingga melupakan rasa CINTA itu sendiri. Obsesi yang dirasakan sejak dia dilarang ayahnya berhubungan dengan kopi. Namun ending film ini sangat manis di mana kita diajarkan bahwa obsesi itu tidak berarti tanpa cinta. Obsesi berlebihan akan kesempurnaan kopi membuat Ben terlena akan memberikan cintanya dalam kopi yang disajikannya.

Intinya adalah : lakukan semua hal yang kita suka tidak hanya dengan OBSESI tapi harus di iringi juga dengan CINTA, karena CINTA lah yang akan membuat sesuatu yang sedang kita lakukan atau kerjakan menjadi BERARTI untuk kita sendiri & orang lain.. 
Designed By Published.. Blogger Templates | HasilNonton