Akhirnya kesampaian
juga nonton AADC 2 walaupun harus nunggu ada yang aplod dulu wkwkwk, niatnya mau langsung ngetik review ala saya tapi tadi tiba tiba jam 20.00 ada tamu datang lha
ternyata tamunya mas @Nanang Suaksono waahh keren nih bakal dapat cerita asiik lagi
nih kaya nya, naahh kan bener dari setiap dia datang ke rumah ada aja bahan
cerita yang asik buat di obrolin dari mulai nostalgia di jogja, hidroponik
sampai tips trik cara sukses jualan di sosia media ya karena dia juga saah satu
pelaku bisnis fashion yang cara memasarkannya melalui internet atau sosial
media, wahh ga kerasa kayanya ada 2 jam dia disini, setelah kopi habis dia pun pamit,
wokkeey its time to nge blog lagii.., tapi sebenarnya review ini selayaknya
dibaca setelah kalian nonton dulu AADC 2 nya ya, tapii kalo belum yaa ga papa
juga sih, wookkey langsung aja ya daripada kelamaan silahkan di simak ya..
Review AADC 2 ala saya
:
Ada Apa Dengan Cinta
(2001) adalah tonggak kebangkitan film nasional pasca orde baru. AADC adalah
salah satu produk budaya paling beken di Indonesia. Minat anak muda pada
sastra, sejumlah kutipan yang berumur panjang, mamet jaket diikat ke pinggul,
hingga melonjaknya karir layar perak dari hampir seluruh artis yang ambil peran
di dalamnya.
Satu setengah dekade
setelahnya, gaung AADC juga yang menuntun orang berbondong-bondong ke bioskop
untuk menonton AADC 2. Tapi, ternyata bagi mereka yang keluar dengan raut muka
terpuaskan, itu juga masih karena AADC.
Dibanding sekuel drama
lain, karya arahan Riri Riza ini seperti benar-benar hanya mengawetkan kembali
apa yang sudah dibangun di AADC oleh Rudi Soedjarwo selaku sutradara. Bukan
menciptakan bangunan lain dengan warna yang selaras. Laksana seorang anak yang
belum berani lepas dari orang tuanya.
AADC 2 adalah film yang
secara umum menghibur, itu pasti. Namun, disadari atau tidak, kita gagal move
on. Memori kita akan AADC yang sejatinya menghibur diri kita. Banyak
adegan-adegan atau dialog seadanya yang menjadi bernilai karena berjuta ingatan
akan AADC pertama masih tertanam. Sebagai film yang berdiri sendiri, AADC 2
tidak sukses berdikari. Terlalu bertumpu pada nostalgia. Sama seperti konflik
tokoh Rangga dan Cinta yang gagal move on di film ini.
Plot
drama tiga babak yang pas-pasan. Semua sudah bisa diterka sejak 20 menit
pertama.
Saya sedikit geli
kalau mendapati penonton bisa berseru tegang ketika adegan Rangga secara kebetulan
melintas di depan kafe tempat Cinta dan gengnya tengah ngobrol. Seolah-olah ada
kemungkinan Rangga dan Cinta tidak akan bertemu sama sekali lalu film ini hanya
jadi perjalanan My Trip My Adventure edisi sosialita Yogyakarta.
Padahal, semua sudah
bisa diterka. Sebelumnya, kita sudah punya beberapa kode yang terlalu jelas.
Cinta akan ke Jogja. Tentu bukan bermaksud meliput demonstrasi. Cinta bukan
lagi wartawan mading. Sekarang ia beralih menjadi pegiat seni yang tertarik
dengan karya perupa Jogja.
Lantas, begitu adegan
Rangga membaca alamat rumah Ibunya yang tinggal di Jogja, pikiran kita harusnya
secepat kalkulator langsung bisa meramalkan apa yang akan terjadi: Cinta ke
Jogja. Rangga juga akan ke Jogja. Mereka bertemu, berciuman, dan pasti akan ada
penonton yang berkomentar Suaminya Dian Sastro nggak marah apa ya?
Alhasil, 20 menit
bangunan awal cerita untuk mempertemukan keduanya jauh lebih lemah dibanding
ketika Cinta menemui Rangga karena ia kalah lomba puisi, dan berusaha meliput
sang pemenang. Cuma butuh 10 menit, tapi sampai sekarang kita masih terkenang
bahwa kalah lomba mungkin adalah sinyal kemenangan dalam jodoh.
Dialog
kurang cerdas. Beruntung, publik sudah mengantisipasi dari awal.
Patut diakui bahwa
adegan paling mantap di AADC 2 adalah penghakiman Rangga oleh Cinta di kafe.
Omel-omelan Cinta kepada Rangga otomatis berfungsi menjelaskan latar belakang
kisah cinta keduanya yang hilang belasan tahun kepada penonton. Cara yang apik
dan efektif. Pengambilan gambar close-up ke wajah keduanya secara bergantian
juga jadi ajang pamer paras Nicholas Saputra dan Dian Sastro yang bikin mata
seger. Dahaga kaum Adam dan Hawa pun terpenuhi.
Kendati akhirnya banyak
yang kemudian diolah jadi meme, tapi jika diingat lagi sebenarnya kalimat yang
terlontar dari suara parau Cinta–seperti Julie Estelle di film Kuntilanak–jauh
dari kata cerdas: “Yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat!” & “Kamu
kebanyakan minta maaf”
Bandingkan dengan
naskah di AADC 1: “Basi! madingnya udah siap terbit!” atau “Barusan saya
ngelempar pulpen ke orang gara-gara ada yang berisik di ruangan ini. Saya gak
mau itu pulpen balik ke muka saya gara-gara saya berisik sama kamu.” Kita
terlanjur pasang kuda-kuda bahwa apa aja yang dikatakan Cinta dan Rangga itu
quotable.
Pemilihan
lokasi tepat, namun kurang sejalan dengan jalan kisahnya sendiri.
Saya yakin Cinta akan
langsung mencampakan Rangga dan memilih pulang sendiri naik delman istimewa
andai Rangga mengajaknya pergi foto-foto ke tugu Jogja atau nonton Ramayana di
Prambanan. Tidak ada yang salah dengan dua obyek wisata itu. Akan tetapi, ini
sudah tahun 2016. Cinta dan penonton berhak tahu tempat-tempat keren Jogja yang
lain.
Untuk itu, saya sangat
lega dan mengapresiasi pilihan lokasi yang dipilih di AADC? 2. Ini berkaitan
juga dengan misi mereka memotret laju kembang budaya dan berkesenian kota Jogja
saat ini. Tidak lagi terlalu tradisional, melainkan mulai bersinggungan dengan
unsur-unsur seni modern dan kontemporer. Maka, mereka lebih memilih untuk
meninggalkan campursari Gunung Kidul demi menampilkan perpaduan hip hop Jawa
dengan musik elektronik dari Kill The DJ (“Ora Minggir Tabrak”). Lagi-lagi ini
langkah tepat. Sayangnya, sebagian besar lokasi tak menanamkan pengaruh
langsung dalam cerita selaiknya pasar buku Kwitang di AADC 1. Hampir seluruh
lokasi cuma berperan sekedar jadi latar tempat modus si Rangga pedekate.
Ini
Rangga atau Siapa?
Rangga yang tempo dulu
begitu dewasa, cuek, introver, jual mahal, dan kritis ala Soe Hok Gie kini
menjadi pengemis cinta ala “Jatuh bangun aku mengejarmu”. Selepas nonton
pertunjukan boneka Pappermoon, ada satu adegan yang sempat bikin Cinta marah.
Hem, di situ kita justru jadi ingat inilah seharusnya Rangga yang legendaris
itu. Yang ngomong sekenanya, sinis, tapi layak jadi panutan. Sayangnya, selain
momen itu, ia hampir seperti Raffi Ahmad di film Love Is Cinta yang menye-menye.
Alya
gagal ditiadakan, melainkan dipindah ke raga yang lain.
Keputusan Ladya Cheryl
untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri mendatangkan masalah nah ia meninggalkan
lubang besar di AADC 2. Dalam cerita AADC 2, tokoh Alya yang ia perankan di
AADC 1 memang sudah mendapat alasan yang masuk akal dan bisa diterima untuk
tidak lagi muncul. Sayangnya, pada akhirnya kita tetap melihat karakter Alya di
tubuh Karmen. Ini membuktikan AADC 2 ternyata tetap tidak sanggup membangun
cerita tanpa keberadaan karakter “seorang sahabat yang dewasa dan bijak bagi
Cinta” seperti Alya. Sehingga, Karmen jadi tumbal. Ia harus merangkap menjadi
Karmen sekaligus Alya.
Ending
yang terlalu rapi.
Saya kira film ini akan
jauh lebih menancap di hati andai diakhiri sekitar 20 menit lebih dini.
Tepatnya di adegan Cinta pulang dari Jogja. Lantaran hampir tak ada lagi elemen
berkesan sesudahnya. Buat yang ada niatan nonton lagi, silahkan catat pula betapa
menjenuhkannya dialog Cinta dan Rangga di adegan pamungkas film ini. Plotnya
terlalu polos untuk menggiring emosi penonton dari momen konflik menuju ending, Akan tetapi untungnya,
Mamet nongol sebagai penyelamat. Ending yang garing dibikin pecah oleh
penampakan Mamet di detik-detik akhir, adegan tambahan pasca credit. Gelak tawa
mengudara menghapus rasa kecewa.
Apa pun ceritanya, Dian
Sastro tetap ICON nya AADC 2 sukses meresmikan lagi kesepakatan kaum Adam
se-Tanah Air bahwa posisi Dian Sastro adalah PERFECT WOMAN. Riri Riza sengaja
sekali tidak membiarkan ada satu pun adegan untuk Dian Sastro terlihat manusiawi dan
pas-pasan..
Kalau untuk pesan
positif nya di AADC 2 ini saya sampai ending ngga bisa nemu apa karena gagal
fokus gara gara pesonanya Dian Sastro yang WEW itu ya ?? wkwkw ya ya ya
btw untuk sekedar hiburan AADC 2 it’s OK tapi kalau untuk dijadikan sekuel dari
AADC 1 kalau menurut saya ngga ngena cerita
nya..
Sebelumnya, mari kita kembali ke belasan waktu silam, saat puisi-puisi dan soundtrack film AADC banyak dilafalkan oleh para remaja tahun 2001 an..
“Bosan aku dengan penat. Dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika ku sendiri. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh!”
Kutipan puisi di AADC 2
”Resah
di dadaku... Dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini,dipisah kata-kata, Begitu pula rindu, Lihat tanda-tanda itu. Jurang antara kebodohan dan keinginanku, memilikimu sekali lagi...”
No comments:
Post a Comment